”PANGGILAN TIDAK DAPAT DITOLAK “
Menjadi guru? Tidah ah! Dari kecil saya tidak pernah mempunyai keinginan menjadi seorang guru. Bagi saya menjadi guru adalah identik dengan kemiskinan.Khususnya miskin materi. Saya dilahirkan dari kedua orang tua yang bekerja sebagai PNS dan ibu saya seorang guru. Dengan enam bersaudara saya dibesarkan dengan keterbatasan ekonomi. Namun, ada sesuatu yang saya dapat dari kedua orang tua saya yakni walau mereka hidup dalam keterbatasan ekonomi tetapi mereka mempunyai prinsip dan daya juang yang tinggi. Bahkan bisa saya bilang sangat tinggi sekali.Semenjak kecil saya dibekali nilai-nilai relegius yang tinggi juga cara hidup yang sangat teratur sekali. Semua peristiwa-peristiwa dalam hidup keluarga selalu dikorelasikan dengan ajaran-ajaran gereja dan Kita Suci.
Hari demi hari aku jalani hidupku dengan senang hati. Kegiatan-demi kegiatan aku jalani pula dengan senang hati, mulai dari kegiatan sekolah, masyarakat, maupun kegiatan gereja. Saya sungguh-sungguh menikmati sekali hidup ini. Waktu berjalan begitu cepat.Tanpa terasa saya sudah lulus SMP.Angan-angan saya waktu itu, saya ingin masuk ke SMA 6 Surabaya, di mana waktu itu SMA 6 merupakan SMA favorit di Surabaya.Tanpa saya sadari, bapak saya mendaftarkan saya di SPG Santa Maria. Saya nekat mengikuti tes masuk SMA 6 dan tidak mau mengikuti tes masuk SPG yang menurut saya sekolah yang sangat menakutkan. Dua minggu kemudian ada pengumuman penerimaan siswa baru. Mulai semalam saya sudah gelisah dan tidak bisa tidur ingin cepat-cepat melihat pengumuman itu dan berharap bisa masuk SMA 6. Apa mau dikata, begitu melihat pengumuman boro-boro diterima, masuk cadangan saja tidak. Saya sudah lemas. Harapan saya masuk ke sekolah favorit sudah pupus.Saya mulai bereaksi, menyalahkan sana menyalahkan sini.
Dengan memberi dorongan dan pengertian, bapak saya mengatakan,”Gak ketampa ya sudah, mungkin di SMA bukan tempatmu, kamu lanjutkan saja karya ibumu yang sebagai guru.” Mendengar saran itu saya tidak berterima kasih, sebaliknya saya marah-marah dengan mengatakan,”Enak saja, lha aku yang sekolah kok bapak yang ngatur”. Mendengar jawaban saya itu, spontan bapak marah dan mulailah dengan ancaman,”Kalau tidak mau sekolah di SPG ya gak usah sekolah.” Akhirnya tidak ada pilihan lain, saya bilang pada bapak,”Yo wis, aku mau.”
Esok paginya, bapak langsung kembali ke SPG Santa Maria untuk mendaftarkan saya, kebetulan waktu itu masih ada tempat untuk gelombang dua. Minggu berikutnya saya mulai mengikuti tes masuk selama empat hari, mulai tes tulis sampai tes wawancara. Beberapa hari kemudian, saya melihat mengumuman. Dan saya diterima.Yang senang bukan saya, tetapi kedua orang tua saya terutama bapak saya yang dengan setia bolak-balik ke SPG untuk mencari informasi, mendaftar, dan akhirnya saya diterima sebagai siswa di SPG Santa Maria.
Walau saya sudah diterima sebagai murid baru di SPG Santa Maria, namun dalam hati saya masih mempunyai niat untuk sekolah di SMA. Sulit sekali menyenangi apa yang ada di depan saya. Yakni mengajar. Tidak terasa, tiga tahun sudah saya berada di tengah-tengah suster-suster Ursulin/OSU. Walau dengan tertatih-tatih akhirnya saya dinyatakan lulus ujian pada tahun 1983.Saya mulai ke sana- kemari memasukkan lamaran ke sekolah-sekolah Katolik. Sudah banyak sekolah yang saya datangi, namun satu sekolahpun tidak memanggil saya. Saya hampir putus asa.Kembali bapak menghibur saya,”Tidak usah panik, kalau nanti sampai tahun ajaran baru belum dapat kerjaan, untuk sementara kerja dulu sebagai sukwan di SD Negeri, bapak yang bayar.” Kebetulan bapak saya adalah ketua BP3 di SD Negeri di mana ibu saya mengajar. Kali ini saya manut.Saya bilang ke bapak,”Ya, saya manut bapak, dibayar berapapun saya mau.”
Hati saya agak lega, paling tidak untuk sementara saya sudah mendapat pekerjaan, walau tahun ajaran baru masih kurang beberapa minggu lagi. Waktu liburan saya gunakan untuk mengikuti misa harian di Gereja Yohanes Pemandi, memang waktu itu saya masih ada di wilayah Yohanes Pemandi, Wonokromo. Rencana Tuhan untuk saya tidak pernah berhenti. Suatu hari, seusai misa, saya didekati Suster Ernesta CB. Beliau bertanya kepada saya,”Opo wis oleh gawean?” Dengan jujur saya menjawab ,”Sudah Suster, tahun ini saya bekerja dulu sebagai sukwan di SD Negeri.” Suster melanjutkan lagi,”Kalau mau, coba-coba masukan lamaran ke Yayasan Mardiwajana karena ada formasi guru.
Dalam perjalanan pulang dari misa, saya terus memikirkan tawaran suster. Karena waktu itu hari Kamis yakni tiga hari sebelum tahun ajaran baru 1983. Saya takut ditolak untuk kesekian kalinya. Sesampai di rumah saya ceritakan kepada bapak tawaran dari suster tersebut. Bapak memberikan saya dorongan dengan mengatakan,”Ya kamu coba masukkan lamaran saja, mungkin ada hasilnya.” Namun saya masih sempat ngotot dan mengatakan,”Suster itu mempunyai SPG di Yogyakarta, jadi tidak mungkin mengambil tenaga dari Surabaya.” Namun bapak selalu mendorong saya untuk mencoba. Mulailah saya menyiapkan segala sesuatunya. Tanpa banyak bicara saya naik bemo menuju ke Katedral di mana terletak Sekretariat Yayasan Mardiwijana. Memang waktu itu SD Santo Yosep masih dibawah naungan Yayasan Mardiwijana. Di sana saya menemui Bapak Sudarto. Semua kelengkapan saya berikan kepada Beliau, dan ternyata di luar dugaan, surat-surat saya dilihat sebentar, beliau langsung memutuskan kalau hari Sabtu saya langsung mengikuti rapat perdana tahun ajaran 1983 di SD Santo Yosep. Oleh Pak Sudarto diberi memo untuk menemui Bapak Kepala Sekolahnya yaitu Bapak Joko Soejanto.
Setelah mendapat jawaban yang pasti dari Bapak Sudarto, saya langsung pulang dan menyampaikan kabar ini kepada bapak dan semua saudara-saudaraku. Rencana menjadi sukwan di SD Negeri belum sempat saya jalani. Bahkan saya mendapat pekerjaan yang lebih baik yaiku sebagai guru di SD Santo Yosep.
Sesuai saran Bapak Sudarto, pada hari Sabtu saya datang ke SD Santo Yosep untuk menemui Bapak Joko Soejanto sekaligus mengikuti rapat perdana tahun ajaran 1983. Tahun pertama saya mengajar di kelas 4, tahun-tahun berikutnya saya selalu ditempatkan di kelas tinggi yaitu kelas 5 dan kelas 6. Semenjak saya mengajar di SD Santo Yosef, banyak hal yang saya alami, baik itu yang terkait dengan tugas saya sebagai guru maupun hal-hal yang sifatnya sangat pribadi. Kebetulan di SD ini saya mempunyai teman guru-guru senior yang berdedikasi tinggi. Secara tidak langsung suasana kerja dan suasana rumah sangat membentuk karakter saya. Darah disiplin yang saya dapat di rumah ternyata terpadu dengan karakter teman-teman guru yang mayoritas berdisiplin tinggi. Mesti kadangkala dalam forum rapat guru sering terjadi adu argumen, namun suasana tetap harmonis dan akrab sekali.
Mulai saat itu saya berkarya di Yayasan Tarakanita wilayah Surabaya. Dan sekarang ini saya bertugas di SD Santo Carolus. Dari pengalaman itu saya merasa bahwa Tuhan itu selalu baik. Rencana-rencana Tuhan sungguh indah dan baik untuk saya dan keluarga. Bahkan saya tidak bisa menolak panggilan Tuhan sebagai seorang guru. Sekuat tenaga saya menolak panggilan Tuhan, saya semakin ditarik dalam pelayanan melalui karya pendidikan. Terima kasih Tuhan atas semua yang Kau berikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar