Jumat, 10 Februari 2012

Pendidikan

SUPERVISI……?

            Pada sebuah lembaga tentunya kata supervisi tidaklah asing di telinga kita. Bahkan kata itu sudah menyatu dengan pelaksanaan kinerja sehari-hari. Lebih-lebih kalau kita mempunyai profesi guru, kata ini bukanlah kata yang super asing. Dalam menjalankan sistem suatu lembaga tentunya kata supervisi tidak dapat dilepaskan begitu saja karena kata itu sangat lekat dengan monitoring suatu kinerja.

            Namun, dalam kehidupan nyata, kata supervisi merupakan kata yang tidak enak diucapkan, kata yang kurang enak didengar, kata yang kurang menjadi sahabat dalam berkinerja, bahkan kata yang menjadi momok yang mampu menekan dan menghambat kinerja seseorang. Banyak di kalangan karyawan kurang tepat mengartikan kata tersebut. Sebagai akibatnya adalah  rasa ketakutan bila mendengar kata”supervise”. Supervisi dianggap sebagai suatu beban berat dipundak yang harus dipikul seorang diri. Bagaimana kita bisa menjadi karyawan yang bermutu baik bila kita sendiri sangat alergi dengan supervisi. Lebih-lebih bila kita sudah menjadi karyawan yang lama, bahkan puluhan tahun masih saja belum memahami dan memaknai arti dan fungsi sebuah supervisi.

            Menurut saya supervisi sangatlah diperlukan dalam suatu lembaga sebagai sarana untuk peningkatan kinerja. Dengan supervisi diharapkan ada komunikasi yang baik antara kedua belah pihak sehingga muncul titik temu dalam meraih tujuan bersama suatu lembaga. Tidak ada alas an sedikitpun untuk menghindari adanya supervisi. Bila sebagai seorang karyawan kita sudah betul-betul menyadari makna dan fungsi supervisi, maka yang terjadi adalah tidak ada ketakutan bila dilaksanakan supervisi baik itu terjadwal maupun secara mendadak, atau apapun bentuknya,baik itu disiapkan atau tidak disiapkan. Apabila sampai terjadi penolakan terhadap supervisi, maka hal ini bahkan memunculkan berbagai macam pertanyaan. Mungkinkah seseorang menjadi karyawan yang professional tanpa adanya supervisi? Mengapa seseorang yang dianggap sebagai tenaga professional masih saja ketakutan dengan supervisi? Darimana ukuran keprofesionalan seorang karyawan? Banyaknya jam mengajar? Lamanya seorang karyawan bekerja? Atau bahkan banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang masih terpendam dalam hati dan pertanyaan itupun yang bisa menjawab adalah orang-orang yang sangat ketakutan dengan supervisi.
       
                Dalam kamus Bahasa Indonesia kata supervisi bisa diartikan sebagai pengawasan utama, pengontrolan tertinggi. Dengan arti tersebut jelaslah bagi kita bahwa supervisi merupakan salah satu alat untuk mengetahui kinerja seseorang dalam suatu lembaga. Tentunya sebagai suatu alat akan dilengkapi dengan instrument-instrumen sebagai acuan yang pasti. Bahkan untuk meningkatkan mutu kinerja suatu lembaga diperlukan suatu supervisi. Tanpa supervisi ini arah ke depan suatu lembaga tidaklah jelas. Kekurangan-kekurangan, kelebihan-kelebihan, atau hal-hal lainnya dapat ditemukan dalam suatu supervisi. Bahkan masukan-masukan yang baik untuk meningkatkan kinerja suatu lembaga bisa saja ditemukan dalam sebuah supervisi. Bila fungsi dan makna supervisi sudah membumi pada diri semua karyawan, apa lagi yang ditakutkan dalam menghadapi supervisi? 

            Jaman sudah berubah, tuntutan publik tentunya juga berubah, dan yang lebih penting lagi kita juga harus mau berubah dan mengubah diri menjadi lebih baik lagi. Berkarya sesuai dengan tugas dan kewajiban masing-masing. Meningkatkan rasa percaya diri dengan banyak membaca, bertanya, sharing, dan melihat pengalaman orang lain untuk digodhog dalam hati pribadi sebagai referensi sedikit menghilangkan rasa takut menghadapi supervisi. Dengan begitu sebagai seorang beriman sekaligus sebagai seorang karyawan kita akan mampu melihat perubahan-perubahan dengan kacamata yang posiitif, menanggapi dengan positif, dan sebagai akhir adalah kitapun bergerak posifit sesuai dengan ritme jaman sekarang ini.

            Bila suatu lembaga memiliki karyawan yang akrab dengan supervisi, pandangan positif, mampu menyikapi perubahan yang ada, mau maju, tidak apatis, dinamis, dan mau mengungkapkan ide-ide dan gagasannya, maka lembaga itu akan menjadi komunitas surga di dunia. Dan sekaligus akan menjadi model komunitas yang bisa dijadikan model oleh orang di sekitarnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar